Hukum Ghibah (Membicarakan Kejelekan Orang Lain) dalam Islam

Apakah ghibah itu? Jawabannya dapat kita temukan
dalam hadist Rasulullah SAW berikut ini : --Rasulullah
bersabda, “Tahukan kalian apa itu ghibah?”, mereka
menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu
yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana
apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya
ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila
cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahi-nya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan
dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya.” (HR. Muslim) --
Dalil-dalil keharaman ghibah dan
bahayanya.
Ghibah termasuk perbuatan dosa besar, hal ini bisa ditemukan keterangannya
pada ayat dan hadist berikut ini :
1. Allah ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu
dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah)
sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat : 12)
2. “Sesungguhnya orang-orang
yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat.
Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur – 19)
3. Di dalam Sunan
Abu Dawud tercantum sebuah hadist yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata :
“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu
memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadist menjelaskan
maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi SAW
bersabda, “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat
yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”
4. Di dalam Sunan
Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadist dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata :
Rasulullah SAW naik mimbar dan menyeru dengan suara lantang, “Wahai segenap
manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke
dalam hatinya janganlah menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan
mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang mencari-cari kejelekan
saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahannya.
Dan barang siapa yang dikorek-koorek kesalahannya oleh Allah maka pasti
dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.”
5. Diriwayatkan
dari Ibnu Umar ra. dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai orang yang
telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman itu belum masuk ke dalam
hatinya, janganlah kalain semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian
membuka aib mereka, dan janganlah semua kalian semua mencari-cari (mengintai)
kelemahan mereka. Karena siapa saja yang mencari
kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengintai kekurangannya,
dan siapa yang akan diintai Alah kekurangannya maka pasti Allah akan ungkapkan,
meskipun dia berada dalam rumahnya.”
6. Rasulullah SAW
bersabda : “Ghibah itu lebih keras daripada zina.” Mereka bertanya,” Bagaimana ghibah lebih keras daripada zina, wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang telah berzina, kemudian
bertaubat dan Alah mengampuni dosanya, sedangkan orang
yang melakukan ghibah tidak akan diampuni Allah, hingga orang yang di-ghibah-nya mengampuninya.”
7. Dari Ibnu Umar
ra. Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang berkata
tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat),
maka Allah SWT akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka,
sehingga dia menarik diri dari ucapannya (malakukan sesuatu yang dapat
membebaskannya).” (HR. Ahmad)
8. Rasulullah SAW
bersabda : “Ketika aku di-mi’raj-kan
aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan
dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata, “Siapakah mereka itu wahai
Jibril?” . Jibril menjawab, “Mereka itu adalah
orang-orang yang berani memakan daging-daging menusia serta menjatuhkan
kehormatan dan harga diri orang lain.” (HR. Abu Daud)
Berhenti menyebarkan gosip dan menjadi penerima gosip. Jika Anda menghentikan gosip yang diteruskan hanya sampai pada Anda, Anda akan memperbaiki kehidupan orang lain dan diri Anda lebih baik lagi. Lagipula, orang yang menceritakan gosip pada kita, biasanya akan menggosipkan kita juga. Orang yang memiliki integritas tidak suka mengumbar omongan tentang orang lain di belakangnya. Jika memiliki masalah dengan seseorang, ia lebih baik mendatangi orang tersebut dan membicarakan masalahnya, tidak pernah melalui orang ketiga. Mereka juga akan memuji orang secara terbuka dan mengkritik orang secara pribadi. Jika Anda adalah orang besar, berhentilah membicarakan orang lain dan mari membicarakan ide-ide besar yang bisa mengubah dunia! :-)
Berghibahlah,
bila engkau merindukan jalan pintas menuju neraka, membuka pintu-pintu
siksa yang pedih, dan menarilah di atas penderitaan orang lain. Juga,
tertawalah di atas derai air matanya. Jadilah binatang buas yang melahap
bangkai-bangkai manusia.
Alangkah beratnya siksa yang ditanggung oleh tukang gunjing (mughtaab),
si tukang penyebar ghibah. Betapapun dia bertobat kepada Allah, pintu
pengampunan tidak akan terbuka, kecuali dia berlari dan
bersungguh-sungguh meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya itu.
Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :
Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :
‘Aisyah berkata : “Aku
meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang seseorang pada Nabi r”. Maka
Nabi r pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat)
seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian”
Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata As-Shon’ani : “Dan
perkataan Rosulullah r (dalam hadits Abu Huroiroh di atas) أَخَاكَ
(saudaramu) yaitu saudara seagama merupakan dalil bahwasanya selain
mukmin boleh mengghibahinya”. Berkata Ibnul Mundzir :”Dalam hadits ini
ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti
yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga)
orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak
ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya”
Nabi shallallhu’alaihi wasallam menjelaskan makna ghibah dengan menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap kalimat yang engkau ucapkan sementara saudaramu membenci jika tahu engkau mengatakan demikian maka itulah ghibah. Baik dia orang tua maupun anak muda, akan tetapi kadar dosa yang ditanggung tiap orang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dia ucapkan meskipun pada kenyataannya sifat tersebut ada pada dirinya.
Adapun jika sesuatu yagn engkau
sebutkan ternyata tidak ada pada diri saudaramu berarti engkau telah
melakukan dua kejelekan sekaligus: ghibah dan buhtan (dusta).
Nawawiy rahimahullah mengatakan, “Ghibah
berarti seseorang menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci saudaranya baik
tentang tubuhnya, agamanya, duniannya, jiwanya, akhlaknya,hartanya,
anak-anaknya,istri-istrinya, pembantunya, gerakannya, mimik bicarnya
atau kemuraman wajahnya dan yang lainnya yang bersifat mngejek baik
dengan ucapan maupun isyarat.”
Beliau rahimahullah melanjutkan,
“Termasuk ghibah adalah ucapan sindiran terhadap perkataan para penulis
(kitab) contohnya kalimat: ‘Barangsiapa yang mengaku berilmu’ atau
ucapan ‘sebagian orang yang mengaku telah melakukan kebaikan’. Contoh
yang lain adalah perkataa berikut yang mereka lontarkan sebagai
sindiran, “Semoga Allah mengampuni kami”, “Semoga Allah menerima taubat
kami”, “Kita memohon kepada Allah keselamatan”.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam ذِكْرك أَخَاك
(engkau meneybut-nyebut saudaramu) ini merupakan dalil bahwa larangan
ghibah hanya berlaku bagi sesama saudara (muslim) tidak ada ghibah yang
haram untuk orang yahudi, nashrani dan semua agama yang menyimpang,
demikian juga orang yang dikeluarkan dari islam (murtad) karena bid’ah
yang ia perbuat.”
Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالكُمْ وَأَعْرَاضكُمْ حَرَام عَلَيْكُم
“Sesungguhnya darah kalian, harta
kalian dan kehormatan kalian adalah haram atas (sesama) kalian”.( HR
Muslim 3179, Syarh Nawai ‘ala Muslim)
Tidakkah kita
takut pada siksa Allah? Bagaimana bila orang yang digunjingkan itu telah
meninggal dunia? Kepada siapakah engkau akan memohonkan maaf. Padahal,
kunci surga hanya terbuka bila ada pemaafan darinya.
Imam Gazali meriwayatkan penggalan nasihat Allah kepada Nabiyulah Musa AS. “Barang
siapa yang mati dalam keadaan bertobat dari gunjingan, maka ia adalah
orang terakhir yang memasuki surga. Dan barang siapa yang mati dalam
keadaan bergunjing, maka ia adalah orang pertama yang memasuki neraka.” (Mukhtasar Ihya Ulumudin,1990: 241).
Saat ini,
ghibah telah menjadi komoditas dan tontonan yang mampu mengangkat rating
tayangan televisi. Acara gosip yang dipandu para presenter cantik
dengan pakaian setengah telanjang, menjadi primadona pengelola televisi.
Kehidupan
rumah tangga orang yang sangat pribadi pun dibongkar. Dan, kita pun
merasa asyik menonton gosip tersebut, bahkan turut melakukan estafet
gosip ke tetangga sebelah. Maka, berantailah penyebaran gosip.
Dalam dunia
politik, ghibah merupakan senjata yang paling ampuh untuk mehancurkan
harga diri dari reputasi lawan politiknya yang secara populer dikenal
dengan istilah character assasination (pembunuhan karakter).
Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang. (Al Hujurat 12)
Betapa besarnya dosa dan konsekuensi moral yang disebabkan oleh ulah lidah, menggosip dan mencela atau mencaci maki orang lain. Inilah ajaran moral kemanusiaan paling fundamental yang menghiasi akhlak seorang Muslim. Betapapun rajin kita beribadah, di hadapan Allah ibadahnya tidak memiliki manfaat sama sekali, selama lidah kita menggosip dan menyakiti orang lain.
Betapa besarnya dosa dan konsekuensi moral yang disebabkan oleh ulah lidah, menggosip dan mencela atau mencaci maki orang lain. Inilah ajaran moral kemanusiaan paling fundamental yang menghiasi akhlak seorang Muslim. Betapapun rajin kita beribadah, di hadapan Allah ibadahnya tidak memiliki manfaat sama sekali, selama lidah kita menggosip dan menyakiti orang lain.
Sahabat Muadz bin Jabbal RA pernah bertanya pada Rasulullah SAW. “Apakah kita akan diminta pertanggungjawaban karena apa yang kita ucapkan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Hai
Ibnu Jabbal, tidaklah manusia-manusia itu akan ditelungkupkan dengan
hidungnya terlebih dahulu di neraka, melainkan karena apa yang dilakukan
oleh lidahnya.” (HR Hakim).
Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar :”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu.
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
Jika dia berkata dengan lisannya :”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-).
Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta dia tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis” .
Adakah Ghibah yang Diperbolehkan?
Nawawi rahimahullah setelah menjelaskan makna ghibah beliau berkata, “Akan tetapi ghibah itu diperbolehkan oleh syar’iat pada enam perkara:
- Kedzoliman, diperbolehkan bagi orang yang terdzolimi menngadukan kedzoliman kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku”atau “Dia telah berbuat demikian kepadaku.”
- Meminta bantun untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
- Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa,pen) dengan mengatakan:”Si Fulan telah mendzolimi diriku atau bapakku telah mendzalimi diriku atau saudaraku atau suamiku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan buruknya kepadaku?”
- Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya memperingatkan kaum muslimin dari perowi-perowi cacat supaya tidak diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib demi menjaga kemurnian syari’at.
- Ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara terang-terangnan seperti menggunjing orang yang suka minum minuman keras, melakukan perdagangan manusia, menarik pajak dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
- Menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah kondang dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan, Allahu A’lam. (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).
- Atau ungkapan semisalnya. Hal ini diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan dengan ungkapan global, contohnya: “Seseorang telah berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzalim kepaada istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya.
Meskipun demkian menyebut nama
person tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun ketika beliau
mengadukan (suaminya)kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam,
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
Semoga Allah melindungi dan memelihara kita dari berghibah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar